Thursday, December 14, 2006

CERPEN : Moro

Pukul 19.00 WITA. December 2004. Zenith Resto.

Ada kebisuan yang menari-nari di antara kami. kebisuan yang dalam. tercipta tak lama setelah dengan entengnya Moro berkata,"Bolehkan aku menikah lagi, Zeda?" Atmosfer kesedihan pun perlahan-lahan menyelimutiku. Ajaibnya, aku tak menangis. Aku membutuhkan sekian puluh detik untuk meyakini pendengaranku dan kemudian bertanya pendek, "Serius, Moro?" tanyaku. "Ya," jawabnye pendek, padat, dan jelas. Sangat jelas sehingga mampu menurunkan bahuku yang semula tegak, seakan tak kuasa menahan satu beban yang teramat berat.
Pukul 19.19 WITA. Zenith Resto.
Aku menatap suamiku dalam-dalam. Aku mencoba mencari satu kebohongan atau lelucon yang tersembunyi di balik matanya. Tapi yang aku temui adalah sebuah pengharapan.
"Sayang, betul mau menikah lagi?" ulangku
"Ya, Zeda. Maaf......" lanjutnya pelan
"Kenapa? Aku.....aku tidak mengerti. Apa aku tidak cukup melayanimu selama ini? Ataukah karena setelah 4 tahun pernikahan kita aku belum juga mampu memberimu keturunan?"
"Zeda, maaf. Aku......."
"Kenapa?" desakku
"Aku mencintai wanita lain selain kau, Zeda. Ya, dan juga aku menginginkan keturunan,' jawabnya pelan tapi cukup menohok ulu hatiku
"Aku mengerti kalau kau menginginkan keturunan tapi kalau kau mencintai wanita lain????? Tidakkah kau bisa bersabar? Dokter yang memeriksa kita menyatakan aku sehat, juga kau. Yang kita buthkan adalah kesabaran. Tidak adil jika kau menduakanku hanya karena kau tidak bisa bersabar dan menunggu Tuhan memberi kita anak dan......."
"Dia hamil"
Pelan tapi cukup memporak-porandakan hatiku menjadi serpihan-serpihan kecil yang berhamburan tanpa bentuk. Aku tiba-tiba menjadi sakit dan terhina.
"Siapa wanita itu, Moro?" tanyaku
"Dinda"
* * *
"Hi, sayang!" suara yang sangat aku kenal sehingga aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui si pemilik suara riang itu
"Hai," jawabku pendek
"Sudah lama? Sorry ya...." katanya manja seraya mencium kedua pipiku
"Ngga, Din. Baru sepuluh menit ini. dapat lingerie yang kamu cari itu?" tanyaku
"Hehehehee.....Iya, dong. Pasti kamu ngga sabar kan ngeliat aku memakaianya. Dan pasti kamu iri karena perutmu ngga seramping perutku. Makanya, Non. Jangan terlalu banyak ngemil," ejeknya
"Aaaah....Siapa bilang perutku gendut? Liat aja nanti. Sekarang udah rata sejak aku rajin ke gym" elakku
"Pulang yuk. Capek nih. Atau kamu mau makan dulu?"
"Ntar aja deh. Di rumah aja. Ntar aku bikin spaghetti kesukaanmu," jawabku
"Oke deeeh,' sahutnya manja
Bergegas aku dan Dinda beranjak dari Cafe tempatku menunggu tadi. Terbayang betapa enaknya melepas lelah dengan berendam di air hangat, kemudian menonton film favorite kami sambil makan spaghetti. Ummmmmm.....yummy.
Dinda berceloteh ramai di taxi tentang promo kenaikan jabatannya dan juga beberapa hal yang yah....little bit boring. Sementara itu, aku sibuk membongkar kantong belanjaanya. Gila anak ini, beli underwear ga tanggung-tanggung, juga lingerie, beberapa potong blouse, dan dasi. Dasi?????
"Dasi siapa ini, Din? tanyaku
"Oh, itu untuk Wimo. Besok kan dia ulang taun," jawabnya santai
"Ngapain kamu sampe beliin dia dasi??? Care banget?" sungutku
"Zeda, sayaaaaaang. Wimo itu kan supervisorku. Ngga masalah kan kalo sekali-sekali aku mengistimewakan dia di hari ulang tahunnya? lagi pula, dia juga banyak bantu aku di promo kenaikan levelku ini," jelasnya
"Huh! Bilang aja kamu naksir dia!" tuduhku
"Iddiiiih.....sori-sori aja ya kalo aku naksir dia. Ga bikin napsu tau!"
"Huahahahahaaaa........"
"Heheheheheeheheh......" berdua kami cekikikan seperti kuntilanak. Dasar Dinda. Cewek sableng
* * *
Beberapa hari ini aku jarang ketemu Dinda. Mungkin dia sibuk sekali di kantornya. Kamar kos-an kami jadi agak-agak ngga terawat. maklum, si Dinda kan telateeeen banget ngurusin rumah. BTW, belakangan ini si Dinda jadi agak pendiam. Apa karena dia lagi datang bulan yah? Tapi tidak biasanya anak itu begitu. Beberapa kali dia menghindar kalo aku ajak keluar. Entah itu alasan capek lah, males lah, dan lain-lain.
"heh, siapa tuh?" telingaku menangkap bunyi mobil memasuki pekarangan rumah. Di rumah kost ini aku cuma tinggal berdua dengan Dinda. Dari dalam mobil aku melihat Dinda turun dan dia diantar oleh.....Wimo!
"Ngapain laki-laki brengsek itu nganterin Dinda segala?"
"Masuk, Wim," tawar Dinda
"Thanks'" jawabnya pendek
"Dinda, tadi ada telfon dari Galih. Kamu diminta ke rumahnya segera," teriakku dari dalam kamar
"Kenapa?" tanyanya
"Auk, gelap!" jawabku asal
"Aku pamit aja deh, Din. Atau perlu aku antar?" tanya Wimo
"Ngga usah. Aku akan pergi bareng Dinda," jawabku sembari muncul di ruang tengah. Aku menangkap keterkejutan yang amat sangat di wajah Wimo, tapi dengan cepat dia mampu menguasai diri.
"Ya, ngga usah, Wim. Terima kasih. Biar aku dianterin Zeda aja," jawab Dinda
"Braaak!!" aku membanting pintu
"Ngapain sih kamu pake dianter-anter Wimo segala??? Kamu pacaran ya sama dia?" tuduhku
"Ngga, Zeda. Kebetulan tadi aku harus presentase di kantor Pak Zen dan aku ngga ada kendaraan, jadi aku sekalian nebeng dia pulang," jelasnya
"Dasar perempuan gatel!"
"Zeda, aku ngga ada hubungan apa-apa dengan Wimo. He's just a friend, ok?!"
"Ah, whatever you say lah! EGP,"
Huh! Entah kenapa aku sebel banget dia deket dengan si Wimo, laki-laki buaya darat itu! Dia yang membuat hidupku hancur. Aku bagitu mencintai dan menghormatinya dulu. Dulu, sebelum keperawananku direnggutnya dan kemudian ditinggalkannya aku begitu saja. Tidak ada keinginannya untuk mempertanggungjawabkan janin yang sudah 2 bulan di rahimku dengan alasan kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Dia bilang bahwa dia bukan satu-satunya laki-laki yang pernah meniduriku, sementara dia tau dengan pasti, darah yang mengalir pada kali pertama kami berhubungan adalah darah keperawananku. Sakit rasanya. Dan sekarang, Dinda bergaul dengan laki-laki itu. Setelah sekian lama akhirnya aku bertemu lagi dengannya. Benci.
Dinda betul-betul menghindariku. Kami jadi sering bertengkar. Rumah layaknya seperti neraka. Sampai akhirnya kemudian dia memutuskan untuk pindah, mencari rumah kost lain. Terakhir, aku mendengar kabar dia menikah dengan Wimo dalam keadaan hamil 6 bulan. Bangsat!
* * *
"Minum apa, Wim?" tanya Moro
"Irish cofee saja," jawab Wimo pendek
"Gimana kantor hari ini?" tanya Moro kembali
"Huh! Capek banget aku. Biasalah, end of the week. Penuh dengan meeting dan progress report untuk tiap project. Kayaknya, weekend ini bakal kelabu deh. Soalnya aku harus menyiapkan meteri presentase untuk Wind Tunnel yang mau di-release minggu depan. Kamu jadi kan nginap di tempatku dan bantuin aku menyiapkan final drawing-nya?"
"Oh, sure! Then, kenapa kamu berfikir ini bakal jadi weekend yang buruk?" tanya Moro
"Huahahaahahahaaaa............"
"Huahahahahahahahaaa........"
Berdua mereka tertawa lepas.
"Kamu liat ngga cewek yang di pojok itu?" tanya Moro
"Emmm....yang pakai bustier Pink itu?"
"Yup"
"Kenapa?"
"Kulitnya bagus dan dandannya okey," kata Moro
"STD aja kok," jawab Wimo datar
"STD? Maksudnya?"
"Standar gitu lho,"
"Oh,........."
".............."
Dan perbincangan pun bergulir dengan hangat sampai akhirnya tidak terasa sudah agak larut. Bergegas mereka menuju Escudo Wimo dan meluncur pulang.
* * *
Gereja St. Maria; 16.00 WITA. December 2006. Zeda.
Aku seolah membeku di dalam ruangan yang penuh kehangatan ini. Semua orang memancarkan wajah-wajah kegembiraan, sementara aku tenggelam dalam duka yang panjang. Hari ini, mantan suamiku Moro Stephen Gaulo akan menikah dengan Dinda Paramitha, sahabatku, juga mantan kekasihku. Aku benar-benar tidak menyangka jika wanita itu adalah Dinda. Dindaku. Apakah dia telah sembuh sekarang? Apakah dia telah normal sekarang? Aku melayangkan pandanganku dan tiba-tiba, mataku bertemu dengan mata Wimo. Laki-laki bangsat itu juga ada di sini. Tapi tubuh dan jiwaku sudah teramat lelah untuk marah dan merasa muak. Aku lelah, betul-betul lelah. Saat aku merasa aku sudah mampu mencintai seorang laki-laki, laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan luka yang tidak kalah dalamnya jika dibandingkan dengan perlakuan Wimo ke padaku tempo hari. Ya, Tuhan! Mengapa kau mengutukku seperti ini? Tidakkah Kau mengampuni dosa-dosa yang pernah aku lakukan????
Gereja St. maria; 16.00 WITA. December 2006. Wimo.
Aku betul-betul tidak menyangka akan bertemu Zeda di sini. Sekian belas tahun telah lewat sejak aku mengenalnya dan kemudian pergi dari kehidupannya. Di tengah kegalauan jiwaku, aku berusaha membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku mampu mencintai seorang wanita. Bahwa orientasi seks ku kepada sesama jenisku hanyalah imajinasi-imajinasi semuku belaka. Saat dia hamil, aku terkejut, ternyata aku mampu menggauli seorang wanita, walaupun tetap terasa hambar. Aku tidak mampu mencintai. Bersetubuh dengannya dan membayangkan diriku melakukannya dengan lelaki-lelaki impianku membuatku serasa mampu menikmati seks itu. Hah!
Aku shock. Akhirnya aku harus menyaksikan Moro, lelaki yang sangat aku cintai, menikah dengan mantan istriku, Dinda. Wanita yang mau menerima aku apa adanya. Tapi kesabaran seorang manusia pasti ada batasnya. Akhirnya dia menyerah. Bagaimana pun, dia menginginkan untuk memiliki keluarga yang utuh. Sementara aku tidak pernah mampu memuaskannya, apalgi membrinya keturunan. Aku masih sangat mencintai Moro. Kini dia sepertinya menemukan laki-laki yang mampu membahagiakannya. Tapi, mampukah Moro membahagiakannya sementara Moro pun seorang gay, sama seperti aku?
Hah! Life is difficult.
Gereja St. Maria. 16.00 WITA. December 2006. Dinda.
Aku gugup sekali. Yang pasti bukan karena aku akan menikah dengan Moro. Bukan juga karena kehadiran Wimo, mantan suamiku. Tapi karena aku menangkap kehadiran Zeda. Sekian tahun berpisah, aku berharap tidak lagi bertemu dengannya. Sekarang aku sudah sembuh dan aku sudah mampu mencintai seorang laki-laki. Yah, Moro. Laki-laki yang belasan tahun yang lalu menghancurkan kepercayaanku kepada kaum Adam. Aku masih sangat belia waktu itu, SMP kelas 3, sementara dia adalah mahasiswa salah satu universitas bergengsi di kotaku. Dengan mudahnya aku masuk ke dalam jerat cintanya dan menyerahkan keperawananku. Setelah itu dia menghilang begitu saja, membuatku membenci laki-laki dan mulai terjerat dalam dunia lesbian. Dengan Zeda. Wanita yang sempat mengisi hari-hariku dan membuatku kembali tersenyum.
Tapi kini Moro kembali padaku. Tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Toh keperawananku dia yang mengambilnya. Yah, meskipun Wimi juga tidak kalah baiknya, tapi tetap, aku butuh untuk dinafkahi secara batin, apalagi sekarang aku sudah kembali menjadi wanita normal. Ah, Moro-ku. Love you.......
Tapi gugupku tak kunjung hilang. Apa yang harus aku lakukan jika seandainya Zeda datang menghampiriku dan membongkar aibku bahwa aku sempat menjalani hidup sebagai lesbian? Oh, Tuhan. Jangan biarkan hal itu terjadi dalam hidupku. Jika selama ini aku jarang berdoa dan seolah-olah aku mengabaikan keberadaan-Mu, Tuhan, tolong dengankan aku kali ini saja. Jangan kacaukan hidup hidup yang baru aku mulai ini, Ya Tuhan. Amin.
Gereja St. Maria; 16.00 WITA. December 2006. Moro.
Mengapa aku keringat dingin begini? Sial! Ngapain Wimo ke sini? Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, aku berharap dia enyah dari kehidupanku. Tujuh tahun telah lewat sejak terakhir kali aku berhubungan dengannya. Aku menjauh setelah aku sadar bahwa aku harus belajar untuk memiliki kehidupan normal dan mempunyai keturunan. Kemudian aku bertemu Zeda, wanita cantik yang walaupun agak tertutup, tapi sangat menyayangi aku. Aku pun berusaha belajar untuk mencintainya. Dua tahun aku belajar, dua tahun aku berusaha, akhirnya aku menyerah. Aku sangat putus asa. Aku tahu, mungkin aku tidak akan pernah bisa sembuh sampai suatu waktu aku bertemu dengan Dinda, document controller baru di kantorku. Dia sangat tertutup. Dia selalu menghindar dari ajakan teman-teman kantor untuk berkencan atau sekedar kongkow di cafe seusai jam kantor. Entah kenapa, aku selalu merasakan perasaan yang berbeda saat melihatnya. Inikah jatuh cinta? Apakah ini berarti aku telah sembuh? Oh, Tuhan! Jika ini adalah jalan untukku kembali kepada-Mu, maka muluskanlah jalanku untuk mendapatkan Dinda.
Dan Tuhan mengabulkan doa-doaku. Dinda pun akhirnya jatuh cinta kepadaku. Semua terasa begitu indah dan aku akhirnya mengabaikan Zeda. Dinda lah yang menyembuhkanku. Dinda lah yang sanggup menjadikanku laki-laki seutuhnya. Samapi kemudia Dinda mengandung anak kami dan aku terpaksa jujur pada Zeda. meski aku tahu, dia akan sangat terpukul.
Aku tidak pernah berniat menceraikan Zeda. Toh Dinda, meskipun tidak pernah bertemu dengan istriku, memaklumi hal tersebut. tapi Zeda tidak ingin diduakan. Dia memilih untuk berpisah, tepat dua tahun yang lalu, setelah aku mengungkapkan keinginanku untuk menikahi seorang wanita lain. Maafkan aku, Zeda. Tapi aku juga ingin hidup normal.
Gereja St. Maria; 16.20 WITA. Desember 2006.
Zeda
Hidupku benar-benar hancur rasanya. Tanpa suami atau orang yang mencintai. Tidak bijaksana jika aku membongkar rahasia Dinda, meskipun tanpa ia sadari, bahwa laki-laki yang menghamilinya adalah mantan suamiku. Mungkin aku harus cepat-cepat saja beranjak pergi dari sini, apalagi tadi aku sempat menangkap sosok Wimo, laki-laki bangsat yang merenggut keperawananku. Aku bertanya-tanya, ada hubuangan apa dia denga Moro atau keluarganya? Atau mungkin dengan Dinda dan keluarganya? Ah, entahlah.
Wimo
Mungkin bukan keputusan yang tepat untuk menceraikan Dinda dengan alasan aku tak mampu membahagiakannya, meskipun dia sangat sabar menghadapiku. Juga tidak bijaksana jika saja aku harus membongkar rahasia bahwa calon suaminya adalah seorang gay. Mungkinkah Moro sekarang sudah sembuh? Ah, jika belum, maka Dinda pasti akan merasakan hal yang sama ketika berumah tangga denganku. Hambar, tanpa energi, tanpa gairah. Semoga Tuhan membimbing keduanya.
Dan juga aku melihat Zeda. Api kebencian masih sarat di matanya meskipun tidak lagi berkobar seperti dulu. Ego atas pengakuan diriku sebagai laki-laki normal memaksaku untuk menodai cinta sucinya. Aku tahu dia hamil, tetapi aku tetap meninggalkannya. Sumpah mati! Aku masih jauh lebih tertarik pada kaumku. Tapi, by the way, apa hubungan Zeda dengan Moro atau keluarganya? Dia tidak mungkin bagian dari keluarga Dinda. Aku mengenal hampir semua keluarga mantan istriku.
Dinda
Tuhan! Sekali saja aku minta jangan kacaukan hari ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasa bahagia. Mengapa ada Zeda di sini? masihkah dia mengejarku? Dan apakah sekian tahun yang telah lewat tidak melunturkan cintanya untukku? Atau, dia adalah keluarga jauh dari calon suamiku? Oh, Tuhan! Apa jadinya jika dia mendatangi suamiku yang membongkar aibku bahwa dulu aku seorang lesbian? Tolong aku, Tuhan!
Moro
Shit! Ngapain si Wimo di sini? Masihkah dia mengejarku? Setelah sekian tahun berlalu, masihkah dia memendam rasa kepadaku? Shit! Aku sudah sembuh, aku sudah normal sekarang. Aku ingin menjalani hidup dengan baik, tanpa bayang-bayang masa laluku. Aku tidak pernah takut jika dia membongkar aibku kepada calon istriku bahwa dulu aku seorang gay. Toh di hadapanTuhan, Pastor Fransisco, dan di hadapan Dinda aku telah mengakui masa laluku, bertobat, dan menyatakan siap untuk menjalani hidup baru yang?
Ah, persetanlah. Aku tahu, Dinda akan menerimaku apa adanya. Dinda yang akhirnya kembali ke dalam pelukanku meski sempat aku sakiti hatinya, sekian belas tahun yang lalu.
tapi aku betul-betul bertanya, ngapain Wimo di sini? Apakah dia keluaga jauh Dinda? Oh, Tuhan! Tolonglah aku. Muluskanlah semuanya. Amin
Pastor Fransisco
Tuhan! Lindungilah kami semua. Entah mengapa semua bisa berkumpul di satu tempat dan dalam waktu yang bersamaan pula. Mempelai pria ini pernah membuat pengakuan dosa sembari menunjukkan foto laki-laki yang dicintainya. Bagaimana tidak saya mengenal laki-laki dalam foto tersebut sebab beberapa hari sebelumnya dia juga datang, membuat pengakuan dosa yang sama, dan menunjukkan foto si mempelai pria. Juga aku teringat saat dia masih kuliah dan terpaksa harus keluar dari kota ini karena dia telah menghamili seorang gadis, yang tanpa dia tahu, akan dinikahi oleh lelaki teman gay-nya? Sementara mempelai wanita ini, adalah wanita yang sekian tahun yang lalu aku nikahkan dia dengan laki-laki itu, dan beberapa minggu menjelang pernikahannya ini, dia pun datang melakukan pengakuan dosa dan membawa sambil menunjukkan foto wanita yang pernah menjadi pasangan lesbinya. Bagaimana tidak aku mengenal wanita pasangannya sementara beberapa tahun yang lewat aku menikahkannya dengan si mempelai pria, kemudian dua tahun berselang ia kembali lagi padaku dan mengatakan bahwa dia akan bercerai dan merasa hidupnya hancur karena suaminya menghamili perempuan lain? Perempuan yang tanpa kita ketahui ternyata adalah pasangannya dulu.
Ah, Tuhan Sang Pengatur. Untuk pertama kalinya aku merasa gugup saat akan menikahkan sepasang anak Tuhan. Dan adakah mereka tahu, lingkaran yang tercpta di antara mereka.
Aku melangkah menuju altar, ada tugas yang harus diselesaikan.

Monday, December 11, 2006

CERPEN : Rayya & Aura



Crazy……I’m crazy for feeling so lonely
And crazy……
Crazy for feeling so……….

Ponselku bunyi. Bergegas aku meraihnya dan senyum-senyum sendiri. Pukul 04.55 subuh waktu Balikpapan dan suamiku sudah menelfon.
“Assalamu alaikum, Aura-ku”
“Waalaikum salam, Rayya-ku”
“Kapan balik?” tanyanya
“Tiga hari lagi. Kenapa, sayang? Subuh-subuh telfon bukannya tanya aku udah shalat apa belum, eh…malah nanya kapan baliknya,” candaku
“Emang ga boleh?”
Upppssss…………..
“Boleh kok, sayang. Tapi Rayya kan tau kalo aku baru balik tanggal 15 nanti. Tiga hari lagi, sayang,” bujukku
“BT tau ngga. Apa-apa sendiri, yang paling BT karena harus tidur sendiri, but it’s okey lah, asal jangan sering-sering aja kaya gini,”
“Iya……iya……Udah shalat belum?” tanyaku
“Belum,” jawabnya pendek
Otakku berfikir keras. Ngga biasanya Rayya-ku bersikap seperti ini. Ini bukan pertama kalinya aku berpisah jauh dengan dia, meski aku akui kali ini yang terlama. Sepuluh hari aku harus pisah dengan dia karena projek yang aku tangani kali ini jauh dari tempat tinggalku, Makassar. Baru kali ini aku kerja projek samapai ke luar pulau.
“Kenapa, sayang? Lagi sakit?”
“Ya”
“Sakit apa? Kapan mulainya? Udah minum obat?” tanyaku panik
“Sakit jiwa, obatnya jauh”
“Sakit jiwa?”
“Kangen tau! It’s been a week, Aura!”
“Hahahahaaaaa………Suamiku…Suamiku…….Love you, honey!”
Setelah 4 tahun menikah, setelah Dzaki dan Dhawy keluar dari rahimku, setelah total 8 tahun kebersamaan jika dihitung masa pacaran, laki-laki yang keras kepala dan (sedikit) egois ini baru saja mengatakan satu kata yang (sepertinya) belum pernah keluar dari bibirnya. Sedikit aneh dan……..
“Emangnya ga boleh apa kangen sama istri sendiri?”
“Oh, boleh dong sayang. Boleh banget. Harus malah. Cuma, maaf, kedengaran aneh aja, hehehee………Kamu jaraaaaang banget ngomong kangen ke aku,” jawabku
“Ya….yaaa gitu deh. Makanya cepat pulang. Obatnya itu kamu,”
“Iya, Insya Allah 3 hari lagi kan ketemu. Shalat dulu, sayang yah. 10 menit lagi aku telfon balik deh” bujukku
“Emmm……jangan 10 menit. Ngga cukup waktunya. 20 menit lagi deh,” tawarnya
“Dua puluh menit? Okay deh, bagus juga ditambahin shalat sunnat”
“Ngga, bukan buat shalat sunnat, aku mau junub dulu,” jawabnya
“Hah???? J U N U B? Kamu habis…………,” tanyaku ragu. Setelah seminggu ditinggal jauh, apa suamiku ngga bias nahan keinginannya dan mencari……
“Eh, Oon! Jangan mikir macem-macem deh. Dosa tau!”
“Terus, harus pake junub karena apa? Onani?” tanyaku
“Bodoh! Ngapain aku onani? Kaya ngga ada kerjaan lain aja?”
“Terus…….????”
“Kamu pasti ngga percaya,” pancingnya
“Apa?”
“I just got wet-dream,” jelasnya, malu-malu
“W H A T, honey? Wet dream? Huahahahahaaaaaa……..” aku ngga kuasa membendung tawaku. Gila! AKu ngga kebayang, suamiku yang umurnya dah 35 ini masih mimpi basah?
“Yah, emang ngga boleh? Siapa suruh kamu ngga ada. Pastilah aku kangen. 4 tahun menikah, paling lama aku pisah dengan kamu Cuma 3 hari. Ini, hari ke-8, siapa yang ngga blingsatan? C’mon, honey. Ini rutinitas, ngga ketemu yaaa pasti nyari lah,”
“Heheheee……..excited ngga?”
“Hehehehe……..” Rayya cuman tertawa, misterius
“Excited ngga?” tanyaku penasaran
“Yaa…..gimana yah?” jawabnya menngantung. Aku BT
“Sama siapa?”
“Apanya?” tanyanya pura-pura bego
“Sparing partnernya lah,” jawabku
“Oh, itu. Ngga tau. Mukanya ngga keliatan. Keliatan sih, tapi samar-samar gitu. Soalnya aku fokusnya ngga ke situ, hehehe……” jelasnya
“Ah, tau deh. Kalo gini aku cepat-cepat pulang aja ah,”
“Kamu juga pasti kangen aku kan?” tanyanya
“Yeee……..siapa bilang? Aku kangen ma anak-anak lah,” jawabku ngga mau kalah
“Iya deh……..Iya deh…..tapi cepat pulang ya, sayang. Manchester United banget gitu lho, “ bujuknya
Manchester United, MU, istilah kami sebagai plesetan dari Miss U, hehehehe….
“Ya. Udah ya telfonnya? Mandi dulu trus shalat. Ntar keburu abis waktunya,”
“Okah, honey. See u later,”
“Mmmmmmuach…….Assalamu alaikum,” pamitku
“Mmmmmmuach…….Mmmmmuach…….Waalaikum salam,” jawabnya
Hah! Aku juga kangen banget. Tidak terasa sudah 8 hari berpisah jauh. Esensinya pasti bukan pada hubungan badaniah, tapi kekosongan jiwa, tau bahwa pasangan kita tidak ada di dekat kita, secara ragawi, bisa saja menimbulkan perasaan janggal tersendiri.
Rutinitas-rutinitas yang berjalan sekian waktu menjadikan otomatisasi tersendiri bagi jiwa dan raga dalam menjalani keseharian. Mulai dari bangun tidur dengan diawali dengan kecupan-kecupan hangat dan mesra, shalat berjamaah, sarapan, berangkat ke kantor, keluar makan siang, pulang kantor, makan malam, berangkat tidur, bercinta, dan seterusnya.
Ah, aku kangen Rayya. Mungkin memang dia bukan laki-laki romantis, tapi yang pasti dia sangat care. Love My Rayya.

* * *

Pukul 17.00, Bandara Hasanuddin Makassar.
Senang sekali rasanya aku bias kembali ke tengah-tengah keluarga. Di pintu kedatangan aku menangkap sosok suamiku, si sulung Dzaki dan Dhawy dalam gendongan bapaknya.
Bergegas kuhampiri mereka, mengecup kening ketiga laki-laki yang sangat aku cintai itu kemudian menuju ke mobil dan beranjak pulang.
“Ngga ada makanan di rumah, Aura. Makan di luar aja yuk” kata suamiku
“Iya, boleh lah. Aku juga lapar nih,” jawabku
Lalu kami menuju ke salah satu mall di pusat kota untuk menyambangi resto fast food favorit kami sekeluarga.

* * *

Pukul 21.30, di rumah, kamar tidur kami.
“Capek banget ya, sayang?” tanya suamiku sambil memelukku mesra
“Ngga juga. Memangnya kenapa?” godaku
“Heheheeee………”
“Huahahaha…….Iya deh,”
“Tapi, maaf kalo duluan game over sebelum kamu. Maklum, lama ngga…..”
“Iya, sayang. Aku ngerti,” kataku, “tapi, aku ke toilet dulu yah. Ngga tau nih kenapa tiba-tiba mules,” lanjutku.
Sebenarnya sebel juga kenapa sakit perut menyerang pada momen-momen seperti ini. Ngga biasanya. Padahal sudah terbayang kehangatan tubuh suamiku dan lembut belaiannya. Apalagi aku kan jablai stelah 10 hari pisah dengan dia.
Bergegas aku ke kamar mandi. Melorotkan (maaf) CD lalu duduk di kloset. Tiba-tiba mataku terpaku pada satu hal. OMG PDA, Oh, my God! Please dong ah…!
Aku keluar dari kamar mandi dengan senyum-senyum. Suamiku pun senyum-senyum. Tangannya terbuka lebar dan aku pun langsung menghambur ke pelukannya. Tanpa basa-basi dia menghujani wajah dan bibirku dengan ciuman-ciuman hangat yang menggelora. Setelah beberapa saat, aku membebaskan bibirku dari bibirnya, sambil senyum-senyum dan mengatur nafas, aku bilang,
“Sayang, maaf. Aku haid,” kataku
“Oh……..?^!(^$!&$!%*#%*%#(!@$_” balasnya
Suamiku langsung memelukku erat. Meletakkan kepalanya di bahuku, dan berkata lirih,
“Puasaku berlanjut 7 hari lagi ya?”
Heheheeheheeeeeee……………….