Monday, October 30, 2006

CURHAT : Aku Pelacur


Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Semua orang bilang aku pelacur. Aku keluar rumah saat orang-orang masuk ke rumah mereka masing-masing dan beranjak tidur. Saat anak-anakku telah terlelap dan menjelajahi ruang tanpa sekat dalam mimpi-mimpinya. Saat ibuku telah mengeluarkan suara mendengkur. Saat sepertiga malam pertama akan habis. Pukul 10.
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Semua orang bilang aku pelacur. Aku berdandan cantik dan berpakaian minim. Tubuhku memancarkan aroma eksotis yang membangkitkan gairah semua laki-laki normal yang menangkap baunya di udara, dan atau mengendusnya sejak dari kejauhan kemudian mengikutinya hingga tiba di tubuhku. Sebab belahan dada bajuku bergaris sangat rendah, yang memungkinkan mereka untuk melambungkan imajinasi mereka, dari pangkal ke ujung, dari dasar ke puncak, dari buah hingga ke puting payudaraku. Sebab aku Selalu berpakaian mini sehingga tangan-tangan itu, apakah kurus atau gemuk, apakah panjang atau pendek, mampu dengan leluasa mengulas pahaku kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa isyarat dan hasrat. Sebab aku berpakaian mini dan bercelana dalam midi, sehingga tidak menyulitkanku untuk mengangkangkan surga di hadapan mereka yang mencari dan mampu membeli surgaku. Surga yang mahal. Yang murah di diriku adalah harga diriku. Sebab suaraku yang menemani mereka ngobrol senilai enam digit, sebab kerlingan-kerlinganku seharga tujuh digit, dan payudaraku, serta surgaku seharga delapan digit.
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Sebab aku menghabiskan sepertinga malam yang kedua di antara lampu-lampu yang berkelap-kelip tanpa henti, di antara kepulan asap rokok, di antara dentuman musik-musik yang memacu adrenalin, di antara pelukan-pelukan lawan jenis yang penuh birahi, di antara warna-warni cocktail, kemudian berakhir di antara peluh, liur, wangi parfum mahal, sperma, lendir, dan kadang juga air mata. Atau air yang mengucur deras dari shower. Bergantian antara panas dan dingin, yang seolah mampu membaca perasaan hatiku. Air yang kuharap mampu menghapus jejak-jejak belaian, usapan, remasan, ciuman, jilatan, dan hisapan dari mereka yang membeliku malam ini. Semua kulakukan di sepertiga malam yang kedua. Setiap malam. Hampir setiap malam. Dari senin sampai minggu, dari Januari ke Desember, dari dulu sampai.........
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Sebab aku membiarkan vaginaku disambangi berbagai penis. Dari yang coklat sampa yang hitam, dari yang pendek sampai yang panjang, dari yang lemah sampai yang perkasa. Dari Senin sampai Minggu, dari Januari hingga Desember.
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Di sepertinga malam yang kedua. Setelah semua ritual itu usai, aku pun pulang dan harus berada di rumah sebelum sepertinga malam yang kedua itu berakhir. Aku harus pulang. Tanpa diikuti oleh wangi tubuh laki-laki yang menggumuliku, tanpa dijejaki oleh liur dan sperma laki-laki yang meniduriku. Tanpa membawa cinta yang sempat hadir sesaat. Pulanglah aku sebelum sepertiga malam yang kedua selesai. Dengan badan bersih, seluruh badan bersih, dengan junub yang membasuhku.
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Meski aku tengah berada di rumah sebelum sepertiga malam yang kedua usai. Meskipun aku pulang dengan tubuh bersih. Meski pada saat aku pulang aku menyikat mulutku bersih-bersih, agar tidak ada rambut laki-laki yang entah siapa namanya tadi dan kemarin-kemarin itu tertinggal di sela-sela gigiku. Pukul 02 dini hari.
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Meski di awal sepertiga malam yang terakhir aku selalu menggelar sajadah dan bertahajjud. Meski lidahku tidak hanya mampu menari-nari di permukaan penis mereka-mereka yang memberiku rupiah, tetapi juga mampu melafadzkan dzikir dan doa-doa, dan juga memohon untuk pengampunan dan syafaat. Meski aku cuma mampu menjual tubuhku untuk menghidupi anak-anakku dan ibuku. Aku tetap pelacur.
Aku pelacur. Yah, aku pelacur. Yang tersungkur di atas sajadahku, di sepertiga malam terakhir. Aku meraung dalam bisu yang konkret, memohon kepada Dia. Tubuhku tidak lagi berbalur liur dari syahwat mereka, dan juga sperma-sperma mereka. Serta keringat-keringat mereka yang wangi. Tubuhku basah oleh keringat yang berbulir, menandakan ketakutanku akan tempat yang dikuasai olek Malik, tempat yang penuh dengan ganjaran abadi. Tubuhku basah oleh air mata yang mengalir sampai jauh, sampai ke belahan dadaku. Aku menangis tanpa bunyi, dan sunyi sepertiga malam terakhir ini menusukku sapai jauh, sampai ke tulangku. Kemudian tubuhku mengejang, dan semuanya menjadi gelap. Aku (sepertinya) mati.
(Especially dedicated to all Pelacur out there; life's hard, but never run away from God. God knows everything, even those which are in the bottom of our heart)

No comments: