Wednesday, October 04, 2006

Menutup Mulut

Menutup mulut. Hahahaha………. Sepertinya aktivitas ini bakal jadi kegiatan rutinku. Takdir….takdir……. Kenapa juga ya saya tidak mampu protes-protes saat menemukan kondisi yang “menyesakkan”??????
Pernah nda kamu membayangkan, kamu tidak menyukai sesuatu hal dan HARUS terus menerus mencoba berkompromi dengan hal tesebut? Pasti kamu akan merasa tidak nyaman kan? Sementara orang yang membuat kita tidak nyaman, toh tidak merasa “apa-apa”. Mereka menganggap kita mampu mentolerir semuanya dan menganggap semuanya selesai. Paling parahnya lagi, kalau orang-orang mesti harus berbohong untuk menutupi hal-hal yang tidak kita sukai. Ufffffttttt………memuakkan.
BTW, belajar memahami orang adalah suatu tindakan yang sangat bijaksana. Seiring dengan berjalannya waktu, konflik-konflik pribadi mampu terselesaikan denagn kita mencoba memahami orang lain. Tapi seperti sebuah reaksi kimia, kondisi yang aman, nyaman, dan (hampir) sempurna dapat dicapai apabila kita selalu mencoba mencapai kesetimbangan. Aksi dan reaksi harus berupa equalitas. Kedudukan seimbang. Satu sama, atau kosong-kosong. Ini bukan sebuah pembenaran, atau pembelaan diri terhadap kondisi tidak nyaman yang ditemui. Cuma sekedar kick off ke diri sendiri.
Memahami orang lain adalah suatu hal yang bijaksana. Memahami. Berkompromi terhadap hal-hal yang tidak kita sukai, sadar atau tidak, merupakan salah satu bentuk nyata penghargaan kita terhadap orang lain. Tapi, apakah kita bisa menjamin saat kita memahami seseorang maka dia juga akan (mau) mencoba memahami kita????? Tidak ada jaminan.
Banyak contoh kasus. Misalnya; saat seorang Bapak meminta (menyuruh) anaknya untuk kursus Bahasa Inggris. Sebenarnya si anak tidak mau karena minatnya lebih cenderung ke kursus menari. Penolakan yang disampaikan si anak di anggap sebuah tameng perlindungan sekaligus boomerang yang menyerang balik si Bapak. Terjadi konflik. Tapi karena adanya faktor-faktor lain yang berpengaruh, misalnya; bujukan ibu, rasa segan (takut) si anak terhadapa bapak, dan lain-lain, menyebabkan si anak berfikir kembali dan akhirnya mengikuti keinginan si bapak. Sadar atau tidak, si anak telah melakukan tingkah MENCOBA MEMAHAMI si bapak. Kenpa saya berkata demikian, karena di sini, si anak mencoba menekan egonya. Akhirnya si anak ikut kursus bahasa inggris. Kelihatannya masalah selesai. Tapi selesai menurut si bapak. Setelah itu, apakah si bapak akan melakukan reaksi (balik) terhadap aksi yang dilakukan oleh si anak? Apakah setelah keinginannya dipenuhi akankah dia balik memikirkan keinginan sang anak? Jika ya, alhamdulillah. Jika tidak, sungguh kasihan si anak. Di sini terjadi sebuah reaksi tanpa azas kesetimbangan, di sini terjadi aksi tanpa reaksi yang mengakibatkan energi tidak sama dengan nol tapi minus. Di sini terjadi ketidakadilan.
Oke, si bapak benar dengan pemikiran generalnya bahwa menguasai bahasa asing sangat penting dalam kehidupan. Bahasa adalah skill dan bahasa adalah jendela dunia. Dengan menguasai bahasa maka peluang untuk mendapatkan pekerjaan bisa lebih (sedikit) mudah, tetapi, apakah menari bukan merupakan skill? Apakah menari tidak bisa menghantarkan seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang layak?
Saya punya teman. Namanya Nita. Otaknya pas-pasan (banget). Tapi minatnya terhadap olah raga Tennes sangat besar. Orang tuanya adalah orang yang bijaksana. Mereka mampu mencermati kekurangan Nita dan mengoptimalkan kelebihannya. Bapak Ibunya tidak pernah memaksa Nita untuk belajar dan menjadi “si hebat” di sekolah. Mereka tidak pernah berkecil hati karena setiap kenaikan kelas, mereka tidak akan pernah mendapatkan anaknya naik ke podium dan menerima piagam murid berprestasi. Tapi saat kita ke lapangan tennes, saat kita ke PELTI dan bertanya tentang Nita, semua orang kenal dia, semua orang tau prestasinya. Dan (hampir) di setiap pertandingan, namanya selalu masuk di 3 teratas. Bagaimanapun, mengoptimalkan sesuatu jauh lebih baik daripada (mencoba) menguasai beberapa hal dengan level rata-rata air J
Kembali pada pembicaraan tentang memahami orang lain dan berkompromi terhadap hal yang tidak disukai. Secara pribadi, saya selalu menghadapi kondisi seperti itu. Dengan orang tua, rekan kerja, pacar. Dan memang pemecahannya adalah (hahahahaha……..) mencoba memahami orang lain dan berkompromi terhadap hal yang tidak kita sukai. Konflik yang timbul, (terpaksa) selesai dengan MEMAHAMI dan KOMPROMI. Ada bagusnya juga, kita menjadi lebih bijak, lebih dewasa (atau terluka????). Huuuhhffffttt………….ppppuah!!!!
Kadang-kadang saya salut kepada mereka yang mampu berbicara. Tidak! Tidak! Tidak! TIDAK! T I D A K! Konsisten sampai akhir. Karena imbasnya adalah pilihan; rasa nyaman dan rasa tidak nyaman. Saya salut dengan keteguhan hati mereka untuk memperjuangkan apa yang tidak mereka setujui. Salut….salut……
Sekarang ini, saya membayangkan diriku menjadi manusia dunia ketiga; penonton. Cuma bisa mencermati, mempelajari, menemukan solusi bagi kebahagiaan orang lain, tapi mengabaikan ketidaknyamanan diri. Terlalu sarkastis mungkin, tapi kalau mau jujur mendengar kata hati, inilah semuanya, hehehehe………….
Untuk keluarga, untuk teman kantor, untuk kekasih hati (India banget ya???), kadang-kadang, saya merasa tidak kuat melakukan kompromi terhadap ego pribadiku untuk menentang kalian semua. Kadang-kadang, saya merasa (sangat) butuh dihargai keinginan dan pendapatku. Tapi sampai sekarang, saya (masih) setia untuk selalu mencoba memahami, mencoba berkompromi, dan (sering-sering) menangis diam-diam untuk meredam semua emosi.
Jika material memiliki batas resistensi untuk bertahan dari tekanan sebelum dia patah, maka saya selalu meminta supaya hatiku ini memiliki batas resistensi tak terhingga sehingga hatiku tidak akan patah dan menjadi sakit karenanya. Cuma, jika saya boleh meminta, bisakah juga kalian semua mencoba memahami saya dan berkompromi terhadap semua keinginanku???????
Aaaah……..Meminjam kata-kata Ariel Peter Pan, ini adalah
MIMPI YANG SEMPURNA.

Juli 27, 06

No comments: